Bagian 1 : Ruang Publik
Ruang publik memiliki dasar dalam munculnya masyarakat kapitalis di Eropa Barat selama transisi dari feodalisme menuju pasar ekonomi bebas. Munculnya kapitalisme menyebabkan munculnya kelas borjuis yang bertentangan dengan tuan tanah yang ingin berpegang teguh kepada kuasa politik meskipun bangunan feodal runtuh karena pergeseran alat-alat produksi dan penurunan keyakinan agama.
Menurut Jurgen Habermas (1989), kedai kopi Inggris dan salon Perancis segera menjadi sebuah landasan di mana orang-orang berbagi informasi terkini tentang perdagangan, politik dan gaya hidup baru mereka. Kemudian, surat kabar menjadi aspek sentral dalam kegiatan ini, pada segi politik dan isu-isu penting lainnya. Koran-koran awal, sering dibaca dalam kelompok-kelompok di kedai kopi dan salon di Inggris, Jerman dan Perancis. Kedai kopi dan salon menandai asal usul dari "ruang publik' sementara kedatangan media cetak dan elektronik berarti tambahan lebih lanjut mengenai bidang dan luasnya.
Dapat dikatakan bahwa Habermas (1989) mengkonseptualisasikan ruang publik sebagai idealnya sebuah landasan di mana semua orang (terlepas dari kelas, pendapatan, kepercayaan, ras, gender, dan etnis) memiliki hak untuk duduk dan berbagi ide dengan orang lain pada setiap isu sosial-ekonomi dan politik yang menjadi ketertarikan dan kepedulian umum, melalui kritis tak kenal takut debat 'rasional'. Sejalan dengan pandangan Habermas, Holub menambahkan bahwa "ruang publik" adalah sebuah dunia di mana individu berkumpul untuk berpartisipasi dalam diskusi terbuka. Berpotensi, setiap orang memiliki akses ke sana. Konsepnya menggaris bawahi 4 poin penting tentang ruang publik ideal sebagai berikut :
- Partisipasi dan non diskriminasi:
Ini berarti bahwa ruang publik harus menjadi sebuah forum terbuka untuk semua. Jika ada, ruang publik harus berkembang dari pluralitas dan keragaman pendapat sehingga menciptakan pasar ide.
- Otonomi:
Sebuah ruang publik harus otonom karena lingkungan otonom kondusif bagi perdebatan kritis dan rasional, di mana orang dapat menggunakan kemampuan mental mereka secara penuh tanpa rasa takut dan penghargaan.
- Debat Rasional atau analitis:
Ini adalah inti dan esensi ruang publik. Menurut Habermas, orang-orang di kedai kopi dan salon telah setia pada 'otoritas argumen yang lebih baik terhadap hirarki' (Habermas 1989: 36). rasa takut dan penghargaan dipandang sebagai penghinaan terhadap rasionalitas dan analisis yang merupakan nadi dari ruang publik fungsional.
Tanpa mengindahkan tuntutan egalitarian, versi Habermas mengenai ruang publik telah dikritik sebagai suatu cara halus untuk universalisasi ketertarikan masyarakat borjuis terhadap ketertarikan masyarakat kalangan menengah. Ruang publik borjuis menempati lingkungan elit bebas yang berbasis pada pemikiran liberal yang salah terproyeksi sebagai ketertarikan dan kepedulian artikulasi universal. Ruang publik borjuis ditunjukkan jauh dari perwujudan rasional, namun lebih seperti suatu lingkungan yang menjadi bagian dari pemikiran atau pandangan dunia dan kepedulian politik seperti yang diasosiasikan oleh proletariat, petani dan wanita. Nancy Fraser juga berpendapat bahwa dalam kelas sosial, pemikiran mengenai ruang publik homogen tanpa diskriminasi, hanya merupakan konsep ruang publik yang didramatisasi. Dia menyangkal gagasan mengenai ruang publik tunggal yang menentang ruang publik jamak, yang ia sebut sebagai ‘alternatif ruang publik’, ‘kompetisi ruang publik’, ‘tandingan ruang publik’ dan “ruang publik sub alternatif’ (Fraser 92). Fraser membuat argumen persuasif yang memaksa bahwa ruang publik tunggal melayani hanya untuk memaksa masuk relasi hubungan dominasi dan subdominasi, yang bukan merupakan bagian dari demokrasi.
Model yang digunakan oleh ruang publikalternatif ini tidak menimbulkan ketertarikan dan gambaran bagi nuansa intelektual, namun John Keane percaya bahwa mereka terdiri atas runag publik mikro,ruang publik meso dan ruang publik makro (Keane 2004). Ruang publik mikro cenderung untuk menjadi sedikit mempengaruhi institusi, komunitas maupun asosiasi yg mungkin mengadvokasi ketertarikan tertentu. Mereka merepresentasikan timbulnya ruang publik. Contoh dari ruang publik mikro misalnya tekanan grup politis atau organisasi sipil yang beroperasi pada skala kecil. Ruang publik mikro berpotensi untuk bertransformasi menjadi skala besar atau bahkan nasional, tergantung pada kemungkinan sumber daya untuk ekspansi, suasana politis dan keinginan untuk tumbuh dan berekspansi. Kehadiran internet juga memperbesar kemungkinan untuk meningkatkan kapasitas ekspansi bahkan pada level global.
Ruang publik meso merupakan skala besar atau nasional dan mempunyai kapasitas untuk menjadi internasional. Mereka cenderung untuk menjadi ruang publik politik dan membangkitkan banyak ketertarikan dan partisipasi dari masyarakat umum yang mungkin mencari standar hidup dan kesejahteraan yang lebih tinggi. Ruang publik makro berskala global dan berkaitan dengan isu-isu yang berdampak pada individu bangsa dan publisitas global. Misalnya Amnesty International, Green Peace, Human Rights Watch dan banyak lagi.
Chrisna Cahya Nugraha : Bagian 1
Lucky Pangestu : Bagian 2
Shidek Permana : Bagian 3
Sumber : Digital Cultural Understanding New Media
Sabtu, 09 Oktober 2010
Demokrasi Digital : Tingkatan Ruang Publik
Diposting oleh chrisna di 8:38:00 PM
Label: demokrasi digital, new media, ruang publik, sosial, tugas
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
dengan demokrasi digital masyarakat dapat menyampaikan aspirasinya melalui dunia digital, apalagi di negara kita yang menganut sistem demokrasi
kunjungi juga romydjuniardi.blogspot.com
Posting Komentar